Apa yang terlintas dalam benak Anda ketika mendengar kata “pink”? Mungkin gambaran tentang gaun putri kecil yang berenda, boneka Barbie, atau tokoh Disney dalam balutan gaun indah. Pink telah lama diasosiasikan dengan kelembutan, femininitas, dan keanggunan.
Namun, tahukah Anda bahwa semua itu hanyalah konstruksi budaya yang muncul belakangan ini?
Di abad ke-18, warna pink tidak memiliki batasan gender. Anak laki-laki maupun perempuan dari kelas atas mengenakan pakaian berwarna pink dan biru secara seragam. Valerie Steele, direktur Museum di Fashion Institute of Technology (FIT), menjelaskan bahwa di masa lalu, pink bahkan dianggap sebagai warna yang lebih maskulin.
Leatrice Eiseman, pakar warna dari Pantone Color Institute, mengungkapkan bahwa pink berakar dari warna merah, yang melambangkan kekuatan, gairah, dan keberanian. Warna ini diyakini lebih cocok untuk anak laki-laki, karena melambangkan sifat yang berani dan penuh semangat. Bukti dari masa lalu pun mendukung teori ini. Artikel di The Infants’ Department pada tahun 1918 menuliskan bahwa “pink lebih cocok untuk anak laki-laki karena merupakan warna yang lebih kuat dan tegas.”
Lalu, kapan segalanya mulai berubah?
Perjalanan Identitas Warna

Steele menjelaskan bahwa pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, produsen pakaian mulai melihat potensi komersial dalam membedakan warna berdasarkan gender. Mereka menciptakan standar yang berbeda—sebagian menganggap pink untuk anak laki-laki dan biru untuk anak perempuan, sementara sebagian lainnya melakukan sebaliknya. Tak ada konsensus yang jelas.
Bahkan di tahun 1927, masih terjadi perbedaan regional dalam penggunaan warna ini. Toko Best & Co. di Manhattan dan Marshall Field di Chicago menjual pink untuk anak laki-laki. Sementara itu, Macy’s di Manhattan dan Wanamaker’s di Philadelphia memasarkan pink sebagai warna khusus anak perempuan.
Namun, sebuah peristiwa seni diduga mulai mengubah persepsi masyarakat. Kolektor seni Amerika, Henry Huntington, membeli dua lukisan terkenal dari abad ke-18: “The Blue Boy,” yang menggambarkan seorang anak laki-laki mengenakan biru, dan “Pinkie,” yang memperlihatkan seorang gadis kecil dalam balutan gaun pink. Lukisan-lukisan ini mendapatkan banyak perhatian dari media di Amerika Serikat dan tanpa disadari, mulai memperkuat gagasan bahwa biru adalah warna untuk laki-laki dan pink adalah milik perempuan.
Padahal, jika kita kembali ke sejarah, laki-laki dan perempuan di abad ke-18 bebas mengenakan pink dan biru tanpa beban gender.
Pink dan Pernyataan Identitas
Di era modern, laki-laki yang mengenakan warna pink sering kali dianggap sedang membuat pernyataan. Jo Paoletti, akademisi sekaligus penulis buku “Pink and Blue: Telling the Girls From the Boys in America,” berpendapat bahwa laki-laki yang mengenakan dasi atau kemeja pink sering kali mendapatkan perhatian lebih. “Jika pink hanyalah sekadar warna, mengapa kita merasa perlu mengomentarinya?” katanya.
Namun, perlahan-lahan, pink mulai diterima kembali oleh laki-laki. Sejumlah brand besar seperti Ralph Lauren dan Thomas Pink memopulerkan pakaian berwarna pink untuk pria. Semakin banyak laki-laki percaya diri mengenakan warna ini tanpa merasa “terancam” oleh stereotip gender. Eiseman bahkan menyatakan bahwa adopsi warna pink di kalangan laki-laki kini mencapai puncaknya yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Namun, masih ada stigma. Beberapa pria masih ragu mengenakan pink karena dianggap akan terlihat kurang maskulin. Generasi yang lebih tua mungkin tumbuh dengan pemahaman bahwa pink adalah “hanya untuk perempuan,” tetapi pola pikir ini perlahan berubah di kalangan generasi muda.
“Dulu, jika seorang wanita mengenakan pakaian hitam di akhir 1800-an, orang akan bertanya siapa yang meninggal,” kata Paoletti. “Sekarang, wanita mengenakan hitam setiap hari tanpa ada yang mempertanyakan. Itu hanya warna.”
Paoletti berharap suatu hari nanti pink akan mengalami evolusi yang sama—sekadar warna, bukan pernyataan gender. Namun, perubahan ini hanya akan terjadi jika laki-laki berhenti merasa perlu membela atau membenarkan pilihan mereka dalam mengenakan pink. Hingga saat itu tiba, pink masih lebih dari sekadar warna—ia adalah simbol, identitas, dan evolusi sosial yang terus berkembang.
Jika Anda tertarik untuk memahami lebih dalam tentang bagaimana warna, budaya, dan identitas sosial saling berinteraksi, bergabunglah dengan Prommunity. Di sana, Anda akan mendapatkan pembelajaran yang lebih lengkap, terstruktur, dan mendalam mengenai topik ini serta berbagai aspek lain dari dinamika sosial dan budaya.